Kamis, 08 November 2007

PEMBERDAYAAN LEMBAGA DAN APARATUR DAERAH
DALAM MEWUJUDKAN REFORMASI BIROKRASI PEMERINTAHAN DAERAH
Oleh : Drs. ST. Darjatmo, SH, MH.


I PENGANTAR
Di Indonesia, pemerintahan yang berorientasi pada pembaharuan yang saat ini dilaksanakan sedikit banyak diilhami oleh konsep good governance (World Bank) dan semangat ”reinventing government” Osborne dan Gaebler (1993). Konsep dan semangat tersebut telah diadopsi pemikiran, kebijakan, program dan diklat pemerintahan di Indonesia. Terkait dengan hal itu semua, untuk mewujudkannya kita diingatkan kembali pada idiom yaitu ”the man behind the gun”. Untuk itu pemerintahan yang baik mutlak harus didukung oleh sumber daya aparatur yang baik pula. Sumber daya aparatur pemerintahan yang baik setidaknya adalah mereka yang selalu menjunjung tinggi moralitas dan memiliki kompentensi memadai. Ini tentunya sesuai dengan bidang tugas dan tuntutan yang berkembang dalam masyarakat atau dengan istilah yang lebih dikenal sebagai profesionalisme.
Untuk mewujudkan profesionalisme sumberdaya aparatur pemerintah di daerah dalam tataran konseptual sejalan dengan Visi Kepala Daerah Kabupaten Boyolali periode 2005-210 adalah ”Terwujudnya sistem pemerintahan daerah Kabupaten Boyolali yang lebih efektif, lebih bersih dan berwibawa serta lebih demokratis dan konstitusional sehingga mampu meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat, kemandirian daerah dan daya saing daerah”. Dengan visi tersebut harapan dan tumpuan terwujudnya sistem pemerintahan daerah tersebut berada pada sumber daya aparatur birokrasi pemerintahan di Kabupaten Boyolali.

II PERMASALAHAN
Untuk mewujudkan profesionalisme sumberdaya aparatur pemerintah daerah dalam tataran operasional dijumpai beberapa permasalahan dalam implementasinya di lapangan. Permasalahan-permasalahan tersebut setidak-tidaknya antara lain sebagai berikut :
Pertama, Mudahnya birokrasi pemerintahan terjebak atau menjebakkan diri pada politisasi birokrasi pemerintahan. Sehingga tidak netral dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat
Kedua, Masih terbatasnya profesionalisme dan kompetensi sumber daya birokrasi pemerinmtahan yang ditandai dengan rendahnya inovasi. Sehingga yang saat ini nampak adalah belum responsif dan proaktif untuk mengantisipasi potensi masalah yang mungkin terjadi dan baru bereaksi setelah permasalahan timbul.
Ketiga, Sering terjadi tumpang tindih dan cuci tangan terhadap permaslahan yang terjadi diantara Satuan Kerja Perangkat Daerah. Sehingga sesuatu yang menghasilkan akan menjadi rebutan dan sesuatu yang menjadikan permasalahan akan selalu dihindari dan tidak ada yang menyelesaiakan.

III PEMBAHASAN
Terkait dengan politisasi birokrasi, dalam perjalanannya ditengah perubahan paradigma penyelenggaraan pemerintahan selama tahun 1998-2007 ini nampaknya tidaklah mudah untuk mendudukkan kenetralan birokrasi pemerintahan/PNS. Ketidakmudahan mendudukkan netralitas birokrasi ini setidak-tidaknya disebabkan beberpapa hal antara laian :
Pertama, PNS terikat pada political authority, pengaturan-pengaturan dalam penyelenggaraan pemerintahan dilakukan dan diterapkan secara hirarkhis dan birokratis. Prakteknya PNS adalah think thank dan arsitek dalam penentuan kebijakan pemerintahan yang secara struktural dan fungsional menjadi sub ordinasi pemegang kekuasaan pemerintahan yang saat ini hampir dipastikan lahir dari partai politik.
Kedua, lemahnya komitmen individu-individu birokrasi/PNS untuk bekerja secara netral dan profesional. Bahkan yang seringkali terjadi adalah kecenderungan terjebak atau bahkan melibatkan diri pada upaya dukung-mendudkung pada pejabat politik tertentu. Dengan demikian akan sangat mudah terkooptasi pengaruhnya dan sulit menghindarkan diri dari konflik kepentingan (conflict of interst). Kalau sudah demikian nampaknya sulit diharapkan PNS akan netral dan profesional dalam menjalankan tugasnya.
Ketiga, Pemahaman tentang netralitas birokrasi itu sendiri dalam prakeknya belum ada kebulatan pemahaman diantara PNS. Ada yang memaknai netralitas itu bahwa PNS tidak boleh membeda-bedakan dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, ada yang memaknai netralitas itu bahwa PNS tidak boleh simpatik kepada partai politik tertentu, sampai dengan netralitas itu dipahami bahwa PNS datang ke tempat orang yang memiliki afiliasi politik tertentu untuk mengetahui program-program calon pejabat publik pun dilarang (tidak diperbolehkan karena dianggap melanggar).
Keempat, Adanya kekhawatiran dan ketidakpercayaan PNS kepada para politisi penyelenggara negara dan pemerintahan bahwa siapa yang akan menjamin nasib PNS jika benar-benar telah netral. Sedangkan pada kenyataannya selama ini afiliasi politik masih berpegangan pada ideologi partai bukan program, menjadikan PNS sebagai alat dan wahana yang ampuh untuk diikutsertakan dalam perebutan kekuasaan. Praktek selanjutnya para politisi yang duduk dalam lembaga eksekutif maupun legislatif sebagian besar baru berkutat pada memperjuangkan kepentingan sendiri dan kelompok pendudkungnya ketimbang bekerja secara profesional sebagai pemimpin maupun manajer pemerintahan.
Terkait dengan profesionalisme aparatur pemerintah khususnya di daerah dan umumnya profesionalisme penyelenggraan pemerintahan kini telah terjadi pergeseran orientasi. Pergeseran orientasi tersebut yakni pemberian kewenangan pelaksanaan otonomi yang luas nyata dan bertanggung jawab dalam banyak aspek kepada pemerintah daerah berdasarkan UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam pasal 133 UU tersebut mengamanatkan bahwa pengembangan karier PNS Daerah mempertimbangkan integritas dan moralitas, pendidikan dan pelatihan, pangkat, mutasi jabatan, mutasi antar daerah dan kompentensi.
Untuk itu, dalam manajemen kepegawaian di daerah misalnya, sesuai UU No. 43/1999 tentang Perubahan atas UU No. 8/1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian mengamanatkan pergeseran ke arah desentralistik dalam pemberdayaan aparatur pemerintah daerah. Pemerintah Pusat pada dasarnya hanya mengatur mengenai norma, standar, prosedur dan mekanisme pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian pegawai. Dalam prakteknya untuk pemberdayaan aparaturnya di dalam penataan personil di daerah, Pejabat Pembina Kepegawaian di Daerah dibantu oleh Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan (Baperjakat) yang diketuai oleh Sekretaris Daerah.
Keanggotaan Baperjakat di Kabupaten Boyolali pada saat ini misalnya, terdiri dari Sekretris Daerah selaku Ketua merangkap anggota dan 6 orang anggota masing-masing adalah 3 (tiga) Asisten Sekretaris Daerah (Tata Praja, Administrasi Pembangunan dan Administrasi), Kepala Badan Kepegawaian Daerah, Kepala Badan Pemeriksa Daerah dan Kepala Dinas Pendidikan Nasional. Terkait dengan hal tersebut Pejabat Pembina Kepegawaian selama ini selalu menekankan kepada semua pihak agar bekerja dengan objektif, bekerja secara institusional dan kesisteman. Konsekuensinya angggota Baperjakat dalam melaksanakan tugasnya berbicara atas nama institusi dalam kerangka sistem dan bukan individu-individu.
Dalam penjabaran operasionalnya, pemberdayaan aparatur pemerintahan daerah di Kabupaten Boyolali pertama-tama tentu memperhatikan track record pegawai yang akan diberi tugas. Untuk mengetahui track record moralitasnya diantaranya dilihat dari latar belakang pendidikan formalnya dan proses perolehan gelar akademiknya, memperketat ijin belajar agar sesuai dengan kebutuhan institusi, kinerja selama menjadi pegawai dan latar belakang keluarganya. Badan Kepegawainan Daerah selaku instansi yang membantu Bupati dalam manajemen kepegawaian menyiapkan instrumen nyata untuk mengetahui moralitas pegawai, seperti phsicology test dan fit and proper test bagi calon pejabat dan pejabat birokrasi pemerintah daerah, maupun menyiapkan data pegawai yang pernah dijatuhi hukuman disiplin berdasarkan PP No. 30/1980 tentang Peraturan Disiplin PNS.
Terkait dengan tumpang tindih atau lepas tangan terhadap kegiatan ataupun masalah, diperlukan suatu SOTK Pemerintahan Daerah dan Penjabaran tugas pokok dan fungsi secara komprehensif. Pedoman organisasi perangkat daerah berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang telah lama ditunggu-tunggu oleh Pemerintah di daerah akhirnya telah ditetapkan pada tanggal 23 Juli 2007 yang lalu berupa PP No. 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah. Berdasarkan penjelasan PP ini menyebutkan bahwa dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, kepala daerah dibantu oleh perangkat daerah yang terdiri dari unsur staf yang membantu penyusunan kebijakan dan koordinasi, diwadahi dalam sekretariat, unsur pengawas yang diwadahi dalam bentuk inspektorat, unsur perencana yang diwadahi dalam bentuk badan, unsur pendukung tugas kepala daerah dalam penyusunan dan pelaksanaan kebijakan daerah yang bersifat spesifik, diwadahi dalam lembaga teknis daerah, serta unsur pelaksana urusan daerah yang diwadahi dalam dinas daerah.
Dalam bidang pengawasan, sebagai salah satu fungsi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, dalam rangka akuntabilitas dan objektifitas hasil pemeriksaan, maka nomenklaturnya menjadi Inspektorat Provinsi, Inspektorat Kabupaten/Kota dan dipimpin oleh Inspektur, yang dalam pelaksanaan tugasnya bertanggung jawab langsung kepada kepala daerah.
Selain itu, eselon kepala bidang pada dinas dan badan perangkat daerah kabupaten/kota diturunkan yang semula eselon IIIa menjadi eselon IIIb, dimaksudkan dalam rangka penerapan pola pembinaan karir, efisiensi, dan penerapan koordinasi sesuai peraturan perundang-undangan di bidang kepegawaian, namun demikian bagi pejabat yang sudah atau sebelumnya memangku jabatan eselon IIIa, sebelum Peraturan Pemerintah ini ditetapkan kepada yang bersangkutan tetap diberikan hak-hak kepegawaian dan hak administrasi lainnya dalam jabatan struktural eselon IIIa, walaupun organisasinya menjadi eselon IIIb, dan jabatan eselon IIIb tersebut efektif diberlakukan bagi pejabat yang baru dipromosikan memangku jabatan berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.
Peraturan Pemerintah ini juga mengatur mengenai pembentukan lembaga lain dalam rangka melaksanakan kebijakan Pemerintah, sebagai bagian dari perangkat daerah, seperti sekretariat badan narkoba provinsi, kabupaten dan kota, sekretariat komisi penyiaran, serta lembaga lain untuk mewadahi penanganan tugas-tugas pemerintahan umum yang harus dilaksanakan oleh pemerintah daerah, namun untuk pengendaliannya, pembentukannya harus dengan persetujuan pemerintah atas usul kepala daerah.
Dalam implementasi penataan kelembagaan perangkat daerah berdasarkan Peraturan Pemerintah ini menerapkan prinsip-prinsip organisasi, antara lain visi dan misi yang jelas, pelembagaan fungsi staf dan fungsi lini serta fungsi pendukung secara tegas, efisiensi dan efektifitas, rentang kendali serta tata kerja yang jelas. Untuk itu di Kabupaten Boyolali beberapa waktu yang lalu telah ditetapkan Peraturan Daerah Kabupaten Boyolali tentang SOTK Pemerintahan daerah di Kabupaten Boyolali.

IV REKOMENDASI
Berdasarkan pembahasan berbagai permasalahan sebagaimana dibahas di depan, direkomendasikan hal-hal sebagai berikut :
Pertama, Untuk melepaskan birokrasi pemerintahan/PNS dari upaya politisasi birokrasi perlu disusun perangkat lunak berupa Peraturan daerah tentang Pembinaan PNS atau Kepegawaian di Kabupaten Boyolali.
Kedua, Untuk meningkatkan profesionalisme perlu ditradisikan dan dibudayakan paparan visi/misi bagi calon pejabat birokrasi pemerintahan, dikembangkan dan disempurnakan PCAP (Potensial Copetensi Asesment Program) dalam setiap rekrutment pegawai atau penempatan pegawa dalam jabatan tertentu sesuai dengan perkembagan lingkungan strategis organisasi.
Ketiga, untuk menghindari tumpang tindih atau lepas tangan terhadap tupoksi antar SKPD perlu disusun Petunjuk Pelaksanaan tentang Penjabaran Tupoksi masing-masing SKPD secara komprehensif dengan melibatkan seluruh stakeholder yang ada.
Demikian pokok-pokok pikiran IKADIK PP Kabupaten Boyolali untuk disempurnakan dan dimintakan persetujuan dalam forum rapat kerja ini dan selanjutnya apabila rekomendasi dan draf tindak lanjut rekomendasi ini dinilai layak akan kita sampaikan kepada Bupati Boyolali dan instansi terkait.
Salam Pamong Praja.
Boyolali, 10 November 2007
Panitia Penyusunan Draf Pola Karier PNS
IKADIK PP Kabupaten Boyolali
Ketua,

Drs. ST. DARJATMO, SH.,MH.

2 komentar:

Unknown mengatakan...

Reformasi Birokrasi sangat jelas sangat mendesak jika bangsa ini ingin segera mengalami kemajuan yang signifikan. Tetapi tidak cukup hanya dengan sekedar "paper" teoritik dan normatif saja, tetapi yang lebih dibutuhkan adalah "action". Itu kata kunci untuk mewujudkan "change".
Banyak syarat di sini, tetapi tidak sulit yang penting punya modal "ikhlas", "legowo" untuk mau berkorban melakukan perubahan.
Syaratnya antara lain perubahan "mindset" dari "penguasa" dan "pengusaha" menjadi "penyedia layanan", ini tuntutan paradigma baru. Sikap rasional dan kritis adalah syarat berikutnya. Dua hal itu bisa memberi kontribusi membentuk budaya birokrasi yang lebih maju.
Contoh hal kecil yang tidak kita sadari karena selama ini tidak mengukuhi budaya kritis, rasional, dan demokratis, yaitu sebutan yang salah atas diri kita, yakni sebagai aparatur. Kita adalah human resources, atau human being, bukan aparatus.
Kita diskusikan lebih lanjut di http://groups.yahoo.com/group/jaspapin/

Bravo IKADI-PP BOYOLALI


SE Atmojo
eGovJateng@Gmail.com

DEVACHA mengatakan...

Yth. Ikadik PP Boyolali
mungkin juga perlu dipahami bahwa kompetensi aparatur pemerintah didasarkan pada 3 hal yaitu : Knowledge, Skill dan Attitude. dan tiga hal tersebut yang di kembangkan di KAbupaten Tuban.....
IKADIK PP- TUBAN